SAYA termasuk pembaca aktif berbagai tulisan Pak Dahlan Iskan, yang kini menjabat Menteri Koordinator Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia. Selain tulisannya renyah dibaca. Tulisan-tulisan beliau selalu mengandung inspiratif.
Terobosan-terobosannya yang terpublikasi di media, juga selalu saya ikuti. Terakhir yang saya baca adalah Pak Dahlan menggelar rapat pukul lima pagi di Flores Room Hotel Borobudur Jakarta, dengan karyawan pabrik-pabrik gula yang dikelola negara.
Ini tentu di luar kelaziman. Sebab pukul segitu belum masuk jam kerja. Salud buat Pak Dahlan.
Dalam kesempatan itu, di antaranya Pak Dahlan membahas soal kinerja dan pencapaian-pencapaian perusahaan. Sedikitnya hadir seribuan karyawan di lingkungan PTPN dan RNI.
Ia senang melihat kinerja perusahaan yang dinilai positif. Berbagai pendapatan laba sudah berhasil ditingkatkan. Pak Dahlan pun memberi apresiasi kepada perusahaan-perusahaan gula yang sempat 'suram'.
Melihat dari sepak terjang Pak Dahlan, era kejayaan industri gula Indonesia sepertinya berpotensi diraih kembali, termasuk target swasembada gula 2014. Jadi kita tak perlu impor lagi.
Bahkan kedepan, berbagai terobosan inovatif bisa dikembangkan. Misalnya membuka jalur wisata sejarah ke pabrik-pabrik gula. Sebab saya yakin, dari 51 pabrik milik BUMN, pasti banyak yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda.
Artinya, perusahaan tidak lagi semata-mata mengharapkan sumber pemasukan dari produksi gula, tapi ada sumber lain yang bisa dioptimalkan dengan baik dan sangat potensial dalam bentuk paket wisata.
Potensi tersebut sangat terbuka lebar dan berbanding lurus dengan keinginan Pak Dahlan, yang mengharapkan fisik pabrik-pabrik dan sarana pendukungnya harus bisa tertata indah, rapi dan bersih. Bahkan bersihnya harus bisa bersaing dengan mall-mall.
Saya terbayang bagaimana kalau kita masuk mall, suhunya dingin, aroma di sekitar segar, masuk toilet bersih, para karyawannya rapi-rapi. Wah. Artinya Pak Dahlan sudah memberi sinyal, ayo masyarakat kunjungi pabrik-pabrik kami, layaknya masyarakat berduyun-duyun masuk mall.
Jadi kalau kita berkunjung ke pabrik-pabrik gula, sudah serasa berada di mall. Sungguh nyaman dan menyenangkan.
Secara pribadi saya memang sangat mendambakan bisa berkunjung ke tempat-tempat bernilai sejarah di tanah air dalam bentuk fisik 'asli'-nya. Sebab selama ini kita selalu menemukan tempat-tempat bersejarah dalam bentuk replika di musium.
Padahal di Indonesia, banyak tempat-tempat yang bernilai sejarah peninggalan zaman penjajahan dan lokasinya masih utuh. Hanya saja kurang terawat dan tidak mendapat pengelolaan dengan baik, (mungkin) termasuk pabrik-pabrik gula. Namun jika dikemas dengan baik dalam bentuk paket wisata, pasti mantap.
Lewat pabrik-pabrik tempo dulu itu, kita akan tau bagaimana proses produksinya dan bagaimana bentuk fisik gula yang dihasilkan kala itu, termasuk kualitasnya seperti apa, jika di bandingkan dengan produksi sekarang.
Belum lagi cerita-cerita heroik pada zaman itu di areal pabrik yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Cerita ini alangkah menariknya jika didapatkan langsung di lokasi-lokasi pabrik yang bernilai sejarah itu.
Saya tengah membayangkan bagaimana rasanya jika berada di pabrik-pabrik yang dibangun sejak tahun 1800 silam. Jika di dukung dengan ornamen-ornamen berbau kolonial, seolah-olah mampu membawa kita berada di zaman lampau.
Sepertinya pabrik-pabrik yang saya maksud banyak tersebar di pulau Jawa, seperti di Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk Kediri, Tulungagung dan lain-lain.
Saya pikir ini potensi baru yang sangat strategis untuk dipikirkan dengan matang. Jika secara konsep sudah ok, tinggal bagaimana implementasinya dengan baik, terutama persiapan infrastruktur di titik-titik pabrik yang ingin dijadikan lokasi wisata, termasuk perkebunan tebu yang luasnya sampai ribuan hektare.
Mungkin prosesnya tidak bisa langsung ekstrim. Tapi bisa bertahap dengan membuat skala prioritas. Misalnya merilis mana pabrik yang memiliki nilai sejarah paling kuat. Kemudian mana pabrik yang lokasinya lebih strategis dan mudah dijangkau.
Selanjutnya mana pabrik yang lebih sedikit menyedot dana, jika dilakukan berbagai pembenahan untuk 'mempercantik' pabrik sebagai lokasi resmi objek wisata sejarah. Untuk merumuskan pemikiran ini, sebaiknya memang butuh tim tersendiri sampai merancang konsep wisatanya seperti apa, termasuk bagaimana teknik pemasarannya.
Saya pikir gagasan ini sangat menarik, terlebih lagi didukung dengan pemasaran yang serius. Dibuat semacam paket-paket wisata pilihan di Indonesia, bagaimana paket-paket wisata yang ada di Bali, Malaysia, Thailand atau tempat-tempat tujuan wisata lainnya yang sudah men-dunia
Saya terbayang semasa kuliah dulu. Saat itu ada kegiatan kampus mengunjungi pabrik mie instan di Kota Pekanbaru, Riau. Di tempat itu kami mendapatkan penjelasan detail soal keberadaan perusahaan dan proses produksi yang mereka lakukan.
Kami juga diajak keliling pabrik dan diperlihatkan secara fisik bagaimana ratusan karyawannya tengah bekerja memproduksi mie instan. Kami pun menjadi tau, oh seperti ini rupanya cara mengolah mie instan hingga terbungkus rapi.
Selama berkeliling pabrik yang relatif luas itu, kami didampingi oleh seorang pemandu yang dengan ramah menjelaskan semua hal yang kami tidak paham. Kiri kanan jalan yang kami lintasi juga terlihat sangat bersih dan tertata rapi.
Bahkan begitu kami diperkenankan masuk di areal produksi lebih dekat, kami harus menggunakan pakaian khusus yang sudah disediakan perusahaan. Sungguh menyenangkan. Kami dilayani dengan sangat ramah, persis bak melayani rombongan wisatawan.
Terbayang oleh saya, jika ini juga dilakukan oleh pabarik-pabrik gula tanah air yang memiliki nilai sejarah. Tapi harus dikelola dengan baik dalam bentuk paket wisata sejarah. Sehingga dia menjadi komersil dan menghasilkan pemasukan tambahan bagi perusahaan.
Dalam kunjungan itu, wisatawan bisa menjadi tau bagaimana dulu Indonesia pernah jaya dengan produksi gulanya. Terus wisatawan juga diajak keliling kebun-kebun tebu yang terhampar luas dengan pemandu yang ramah dan lembut.
Kemudian keliling ke rumah-rumah zaman kolonial Belanda yang menjadi tempat tinggal para pejabat perusahaan kala itu. Ada juga kareta pengangkut hasil panen tebu dan barang-barang antik peninggalan lainnya yang bernilai sejarah.
Mungkin dalam rangkaian paket wisatawan, juga disajikan film-film dokumenter pabrik gula tempo dulu dengan beragam rangkaian cerita menarik yang menggambarkan suasana pabrik di bawah penguasaan penjajah.
Tinggal bagaimana memarketingkannya dengan baik kepada dunia luar dan masyarakat lokal. Banyak jalan menuju Roma. Artinya beragam cara bisa dilakukan untuk pemasaran. Terpenting adalah, siapkan infrastrukturnya dengan baik.
Jika kelak sudah ada wisatawan yang berkunjung dan memiliki kesan yang baik, maka ia akan bercerita dari mulut ke mulut, bahwa di Indonesia ada wisata sejarah ke tempat-tempat pabrik gula peninggalan zaman penjajah.
Atau bisa juga melibatkan banyak travel agent. Kemudian selalu ikut serta dalam expo atau pameran-pameran, baik skala nasional maupun internasional.
Lebih praktisnya lagi, selain membuat website secara khusus, buat selebaran atau bulletin khusus, yang gratis di baca pada tempat-tempat publik, termasuk di pesawat-pesawat seluruh penerbangan ke Indonesia dan hotel-hotel.
Bisa juga mengundang jurnalis dari berbagai daerah,jika perlu juga jurnalis luar negeri yang difasilitasi pengelola. Jika jurnalis yang diundang, pasti mereka membuat tulisan menarik sepanjang yang dijumpainya berkesan dan memiliki nilai untuk disajikan kepada pembacanya.
Jadi jika ada kemauan kuat dari semua stakeholder atau pemangku kepentingan, saya optimis pasti bisa dan berhasil.
Semoga ini semua bisa diwujudkan oleh pemerintah di bawah tangan dingin Menteri Negara BUMN, Pak Dahlan Iskan. Selamat bekerja pak Dahlan, semoga pabrik-pabrik gula menjadi kunjungan yang menyenangkan, seperti kami mengunjungi mall-mall, amin. (*)
Terobosan-terobosannya yang terpublikasi di media, juga selalu saya ikuti. Terakhir yang saya baca adalah Pak Dahlan menggelar rapat pukul lima pagi di Flores Room Hotel Borobudur Jakarta, dengan karyawan pabrik-pabrik gula yang dikelola negara.
Ini tentu di luar kelaziman. Sebab pukul segitu belum masuk jam kerja. Salud buat Pak Dahlan.
Pabrik gula di Situbondo (wenkchibonek.blogspot.com) |
Ia senang melihat kinerja perusahaan yang dinilai positif. Berbagai pendapatan laba sudah berhasil ditingkatkan. Pak Dahlan pun memberi apresiasi kepada perusahaan-perusahaan gula yang sempat 'suram'.
Melihat dari sepak terjang Pak Dahlan, era kejayaan industri gula Indonesia sepertinya berpotensi diraih kembali, termasuk target swasembada gula 2014. Jadi kita tak perlu impor lagi.
Bahkan kedepan, berbagai terobosan inovatif bisa dikembangkan. Misalnya membuka jalur wisata sejarah ke pabrik-pabrik gula. Sebab saya yakin, dari 51 pabrik milik BUMN, pasti banyak yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda.
Artinya, perusahaan tidak lagi semata-mata mengharapkan sumber pemasukan dari produksi gula, tapi ada sumber lain yang bisa dioptimalkan dengan baik dan sangat potensial dalam bentuk paket wisata.
Potensi tersebut sangat terbuka lebar dan berbanding lurus dengan keinginan Pak Dahlan, yang mengharapkan fisik pabrik-pabrik dan sarana pendukungnya harus bisa tertata indah, rapi dan bersih. Bahkan bersihnya harus bisa bersaing dengan mall-mall.
Saya terbayang bagaimana kalau kita masuk mall, suhunya dingin, aroma di sekitar segar, masuk toilet bersih, para karyawannya rapi-rapi. Wah. Artinya Pak Dahlan sudah memberi sinyal, ayo masyarakat kunjungi pabrik-pabrik kami, layaknya masyarakat berduyun-duyun masuk mall.
Jadi kalau kita berkunjung ke pabrik-pabrik gula, sudah serasa berada di mall. Sungguh nyaman dan menyenangkan.
Rumah Dinas Direktur Pabrik Gula Purwokerto 1900-an (id.wikipedia.org) |
Padahal di Indonesia, banyak tempat-tempat yang bernilai sejarah peninggalan zaman penjajahan dan lokasinya masih utuh. Hanya saja kurang terawat dan tidak mendapat pengelolaan dengan baik, (mungkin) termasuk pabrik-pabrik gula. Namun jika dikemas dengan baik dalam bentuk paket wisata, pasti mantap.
Lewat pabrik-pabrik tempo dulu itu, kita akan tau bagaimana proses produksinya dan bagaimana bentuk fisik gula yang dihasilkan kala itu, termasuk kualitasnya seperti apa, jika di bandingkan dengan produksi sekarang.
Belum lagi cerita-cerita heroik pada zaman itu di areal pabrik yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Cerita ini alangkah menariknya jika didapatkan langsung di lokasi-lokasi pabrik yang bernilai sejarah itu.
Saya tengah membayangkan bagaimana rasanya jika berada di pabrik-pabrik yang dibangun sejak tahun 1800 silam. Jika di dukung dengan ornamen-ornamen berbau kolonial, seolah-olah mampu membawa kita berada di zaman lampau.
Sepertinya pabrik-pabrik yang saya maksud banyak tersebar di pulau Jawa, seperti di Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk Kediri, Tulungagung dan lain-lain.
Saya pikir ini potensi baru yang sangat strategis untuk dipikirkan dengan matang. Jika secara konsep sudah ok, tinggal bagaimana implementasinya dengan baik, terutama persiapan infrastruktur di titik-titik pabrik yang ingin dijadikan lokasi wisata, termasuk perkebunan tebu yang luasnya sampai ribuan hektare.
Mungkin prosesnya tidak bisa langsung ekstrim. Tapi bisa bertahap dengan membuat skala prioritas. Misalnya merilis mana pabrik yang memiliki nilai sejarah paling kuat. Kemudian mana pabrik yang lokasinya lebih strategis dan mudah dijangkau.
Selanjutnya mana pabrik yang lebih sedikit menyedot dana, jika dilakukan berbagai pembenahan untuk 'mempercantik' pabrik sebagai lokasi resmi objek wisata sejarah. Untuk merumuskan pemikiran ini, sebaiknya memang butuh tim tersendiri sampai merancang konsep wisatanya seperti apa, termasuk bagaimana teknik pemasarannya.
Saya pikir gagasan ini sangat menarik, terlebih lagi didukung dengan pemasaran yang serius. Dibuat semacam paket-paket wisata pilihan di Indonesia, bagaimana paket-paket wisata yang ada di Bali, Malaysia, Thailand atau tempat-tempat tujuan wisata lainnya yang sudah men-dunia
Saya terbayang semasa kuliah dulu. Saat itu ada kegiatan kampus mengunjungi pabrik mie instan di Kota Pekanbaru, Riau. Di tempat itu kami mendapatkan penjelasan detail soal keberadaan perusahaan dan proses produksi yang mereka lakukan.
Kami juga diajak keliling pabrik dan diperlihatkan secara fisik bagaimana ratusan karyawannya tengah bekerja memproduksi mie instan. Kami pun menjadi tau, oh seperti ini rupanya cara mengolah mie instan hingga terbungkus rapi.
Selama berkeliling pabrik yang relatif luas itu, kami didampingi oleh seorang pemandu yang dengan ramah menjelaskan semua hal yang kami tidak paham. Kiri kanan jalan yang kami lintasi juga terlihat sangat bersih dan tertata rapi.
Bahkan begitu kami diperkenankan masuk di areal produksi lebih dekat, kami harus menggunakan pakaian khusus yang sudah disediakan perusahaan. Sungguh menyenangkan. Kami dilayani dengan sangat ramah, persis bak melayani rombongan wisatawan.
Terbayang oleh saya, jika ini juga dilakukan oleh pabarik-pabrik gula tanah air yang memiliki nilai sejarah. Tapi harus dikelola dengan baik dalam bentuk paket wisata sejarah. Sehingga dia menjadi komersil dan menghasilkan pemasukan tambahan bagi perusahaan.
Dalam kunjungan itu, wisatawan bisa menjadi tau bagaimana dulu Indonesia pernah jaya dengan produksi gulanya. Terus wisatawan juga diajak keliling kebun-kebun tebu yang terhampar luas dengan pemandu yang ramah dan lembut.
Kemudian keliling ke rumah-rumah zaman kolonial Belanda yang menjadi tempat tinggal para pejabat perusahaan kala itu. Ada juga kareta pengangkut hasil panen tebu dan barang-barang antik peninggalan lainnya yang bernilai sejarah.
Mungkin dalam rangkaian paket wisatawan, juga disajikan film-film dokumenter pabrik gula tempo dulu dengan beragam rangkaian cerita menarik yang menggambarkan suasana pabrik di bawah penguasaan penjajah.
Tinggal bagaimana memarketingkannya dengan baik kepada dunia luar dan masyarakat lokal. Banyak jalan menuju Roma. Artinya beragam cara bisa dilakukan untuk pemasaran. Terpenting adalah, siapkan infrastrukturnya dengan baik.
Jika kelak sudah ada wisatawan yang berkunjung dan memiliki kesan yang baik, maka ia akan bercerita dari mulut ke mulut, bahwa di Indonesia ada wisata sejarah ke tempat-tempat pabrik gula peninggalan zaman penjajah.
Atau bisa juga melibatkan banyak travel agent. Kemudian selalu ikut serta dalam expo atau pameran-pameran, baik skala nasional maupun internasional.
Lebih praktisnya lagi, selain membuat website secara khusus, buat selebaran atau bulletin khusus, yang gratis di baca pada tempat-tempat publik, termasuk di pesawat-pesawat seluruh penerbangan ke Indonesia dan hotel-hotel.
Bisa juga mengundang jurnalis dari berbagai daerah,jika perlu juga jurnalis luar negeri yang difasilitasi pengelola. Jika jurnalis yang diundang, pasti mereka membuat tulisan menarik sepanjang yang dijumpainya berkesan dan memiliki nilai untuk disajikan kepada pembacanya.
Jadi jika ada kemauan kuat dari semua stakeholder atau pemangku kepentingan, saya optimis pasti bisa dan berhasil.
Semoga ini semua bisa diwujudkan oleh pemerintah di bawah tangan dingin Menteri Negara BUMN, Pak Dahlan Iskan. Selamat bekerja pak Dahlan, semoga pabrik-pabrik gula menjadi kunjungan yang menyenangkan, seperti kami mengunjungi mall-mall, amin. (*)
makasih banyak semua info nya ,,,,,,,,,,
BalasHapusbagus tulisannya gan, inspiratif
BalasHapusPG di Dumai sudah berdiri blom?
BalasHapusmenarik juga, klu ada pabrik gula seperti mall
BalasHapuswah, kren juga tu idenya...semoga bisa
BalasHapus