Antrean air bersih (illustrasi/balikpapancyber.com) |
Saat ini saya berdomisili di Kota Pekanbaru. Sebuah ibukota Provinsi Riau. Dari Pekanbaru untuk mencapai ke Desa Teluk Pulau Hilir, kira-kira menghabisi waktu 5-6 jam perjalanan berkendaraan darat.
Lama perjalanan itu saya hitung saat rajin pulang kampung, semasa kuliah dulu. Jika ingin berlanjut ke Bagansiapiapi, Ibukota Kabupaten Rokan Hilir, butuh waktu tambahan sekitar 2 jam perjalanan lagi.
Desa Teluk Pulau Hilir dan (mungkin) desa-desa sekitarnya, adalah wilayah tadah hujan. Air yang turun dari langit itu, sangat di nanti-nanti, baik untuk konsumsi hari-hari, maupun bercocok tanam untuk bersawah. Sebab daerah ini tidak memiliki irigasi yang baik.
Mengapa saya sebut air hujan juga menjadi kebutuhan konsumsi hari-hari. Sebab air sumur galian di daerah ini bentuknya tidak bening seperti air sumur kebanyakan seperti yang ada di Kota Pekanbaru.
Air di desa ini hitam atau kecoklat-coklatan dan kalau dipakai untuk minum, rasanya tawar sekali, atau kalau bahasa setempat, disebut PAYAU. Makanya, jika kita sudah terbiasa dengan air jernih, seperti sumber air di Pekanbaru, jelas air di daerah ini sungguh tidak mengenakkan, baik untuk mandi maupun untuk konsumsi.
Jika mandi dan sekalian keramas rambut, maka rambut terasa gimana gitu. Kurang nyaman dan terasa lengket.
Maka tak heran, hampir setiap rumah di desa ini, memiliki tempayan atau drum ukuran besar, yang fungsinya untuk menampung air hujan. Jika musim kemarau tiba, air hujan yang ditampung dalam ukuran besar tadi, bisa dipakai lama sampai ketemu hujan kembali.
Namun seiring berkembangnya teknologi, memang ada beberapa titik rumah yang sudah memiliki sumur bor dan airnya cukup jernih. Tapi tidak semua warga mampu memiliki sumur tersebut. Sebab biaya pembuatannya relatif mahal, karena untuk mendapatkan sumber air jernih, agak sulit. Kasian!!!.
Alhasil bagi warga yang tidak punya sumur bor dan persediaan air hujannya habis untuk kepentingan konsumsi, maka mereka rela membeli kepada warga yang memiliki sumur bor. Atau bisa juga mendapatkannya kepada warga yang tinggal di dataran tinggi, yang air sumurnya relatif jernih.
Begitu juga dengan kebutuan persawahan, atau oleh warga setempat disebut Ladang, yaitu bercocok tanam padi. Prosesi bersawah ini juga memiliki ketergantungan dengan tadah hujan. Jika musim tanam, biasanya harus bertepatan dengan musim hujan. Sementara musim panen, biasanya harus bertepatan dengan musim kemarau. Jika ketepatan musim ini pas, maka hasil panen relatif berhasil.
Tapi celakanya, ternyata tidak selamanya pas. Sebab siapa yang bisa mengatur alam. Alhasil, maka panen petani sering kali gagal.
Padi yang sudah mulai menguning dan siap panen, tiba-tiba hujan lebat turun dan menenggelamkan semua buah padi tersebut. Sementara sirkulasi air untuk mengatur debit air melalui irigasi tidak ada. Maka dapat dipastikan, petani dihadapkan gagal panen. Kasian lagi deh!!!.
Merasa sering gagal panen, maka warga sekarang banyak mengalihkan lahan-lahannya menjadi kebun sawit. Sebab sawit dinilai tidak perlu ada pengaturan musim hujan atau musin kemarau. Bahkan hasilnya dinilai lebih menjanjikan secara ekonomi.
Itulah desaku, Desa Teluk Pulau Hilir, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Air yang menjadi kebutuhan kesehariannya, tidak didapatkan dengan baik dan memiliki ketergantungan besar dari air hujan. Miris juga kita ya...??? (*)