Widget edited by super-bee

Goresan Cah Melayu

Senin, 19 Mei 2014

Meneladani Budaya Gotong Royong di Teluk Pulau Hilir

Jumat (16/5/2014) lalu, saya pulang kampung ke Rokan Hilir, setelah hampir setahun tidak pulang. Tepatnya di Kepenghuluan Teluk Pulau Hilir, Kecamatan Rimba Melintang.

Kepenghuluan itu sebutan lain dari Desa. Kepenghuluan ini berada di jalan lintas menuju Kota Bagansiapiapi. Dari Kepenghuluan ini ke Ibukota Rokan Hilir tersebut, masih menempuh perjalanan sekitar 2-3 jam lagi dengan bersepeda motor atau kendaraan roda empat.

Begitu sampai di rumah, ramai betul saya lihat orang-orang berkumpul. Saya pun menyalami mereka satu-satu, walaupun akhirnya tidak semua tersalami, karena mereka tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Ada yang mengiris bawang, ada yang tengah memasak air, menanak nasi, mengangkat kayu, mengaduk gulai dan macam-macam. Sesekali terdengar gelak tawa renyah di tengah kesibukan mereka.

"Udah limo ai kami disiko menolong umak kau buat kue," ujar seorang tetangga di tengah perbincangan rindu karena sudah lama tidak berjumpa dengan bahasa khas logat Melayu Rokan Hilir.

Sudah lima hari kami di sini menolong ibumu buat kue: Begitu kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Ya, mereka semua tengah sibuk membantu orangtua saya, yang tengah bersiap menggelar acara resepsi pernikahan adik keempat saya, Yenni. Puncak acaranya sehari kemudian, Sabtu (17/5/2014).

dapur umum memasak kebutuhan acara

Jauh hari sebelum rangkaian persiapan ini, sempat juga dilangsungkan rapat pembentukan panitia yang dihadiri masyarakat setempat dan beberapa sanak family terdekat.

Mereka semua tidak saja menyatakan membantu tenaga, tapi juga membantu dana untuk menyukseskan acara. Bahkan tidak sedikit yang menyumbang dalam bentuk barang.

Tradisi seperti ini, walaupun tidak tersurat, tapi begitu ada sebuah helatan, pasti selalu didahului rapat warga untuk membantu segala hal yang sudah menjadi tradisi. Tradisi ini masih terjaga dengan baik sejak berpuluh tahun silam.

"Mie putih dan minyak goreng itu, sumbangan dari beberapa tetangga. Masih banyak lagi sumbangan yang lain," ujar Emak begitu saya tanya mengapa Mie Putih dan Minyak Goreng tertumpuk terlalu banyak.

para emak-emak sibuk menyiapkan bumbu
Alhamdulillah, acara pun berlangsung sukses. Bapak dan Emak lebih banyak duduk dari pada bekerja. Sebab semua pekerjaan sudah diambil alih oleh tetangga dan sanak family. Tuan rumah memang di larang bekerja lebih.

Saat malam hiburan berlangsung, semua masyarakat juga saling menjaga keamanan dan ketertiban. Tua, muda dan anak-anak berbaur menikmati malam hiburan berupa orgen tunggal.

Hebatnya, walaupun malamnya sudah pulang larut malam menyaksikan hiburan, pagi-pagi sebagian dari mereka sudah kembali lagi berkumpul untuk membersihkan sisa-sisa dari acara tersebut.

Barang-barang pinjaman, seperti papan untuk panggung, dikembalikan kepada pemiliknya beramai-ramai. Siap dari situ, dilanjutkan makan siang bersama. Suasana kekeluargaan dan silaturahmi begitu kental terasa.
mengantar papan usai dipakai untuk acara

makan bersama siap kerja
bekombo-kombo di sela kesibukan

Dalam hati berguman: ternyata budaya gotong-royong seperti ini masih terjaga dengan baik di sebuah desa bernama Teluk Pulau Hilir ini. Mungkin beberapa desa tetangga lainnya di wilayah Rokan Hilir, juga masih memegang teguh budaya serupa, mungkin juga beberapa daerah lainnya di Riau.

Selama saya tinggal di Pekanbaru, pemandangan seperti ini memang terasa langka. Kalau ada acara resepsi pernikahan atau acara-acara lainnya, semua kebutuhan selalu sudah siap saji.

Kalau kebutuhan makan, tinggal hubungi catering dan hasilnya tinggal beres. Untuk persiapan acara, tinggal hubungi event organizer dan seterusnya. Apalagi kalau helatannya berlangsung di hotel, semuanya sudah beres. Yang punya gawe cukup siapkan piti-pitinya saja, hehehe.

Memang lebih praktis dan efisian, tapi nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan terkikis habis.

Makin ke sini, sikap individualisme masyarakat kita memang makin terasa sekali. Tapi paling terasa itu di lingkungan elit masyarakat perkotaan. Untuk masyarakat di kampung-kampung, budaya gotong royong secara umum masih terjaga dengan baik, contohnya di Kepenghuluan Teluk Pulau Hilir tadi, yang layak untuk ditauladani.

Dulu waktu masih kecil-kecil, melihat orang bekerja ramai-ramai (gotong-royong) sudah lazim. Kalau ada warga bangun rumah, selalu dikerjakan dengan gotong-royong. Dalam sehari rumah panggung yang terbuat dari kayu sudah berdiri.

Begitu juga kalau musim berladang tiba. Warga bergantian bergotong-royong membuka persawahan untuk ditanami padi. Apalagi kalau membuka akses-akses umum, seperti jalan, rumah ibadah atau sekolah, pasti dikerjakan dengan beramai-ramai dengan masyarakat sekitar.

Semoga budaya ini bisa terus terjaga dengan baik (sesungguhnya sudah mulai terkikis). Sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan silaturahmi, terus dapat terpupuk dengan baik lewat budaya gotong-royong tersebut di tengah masyarakat kita, amin. (*)


BACA TULISAN LAIN:
Dulu Asyiknya Ada Tempat Ngopi di Puswil Soeman HS
Goyang Oplosan Hebohkan Acara Reuni Akbar STIE Purna Graha Pekanbaru 
Berkunjung ke Alam Mayang
STIE Purna Graha Pekanbaru Makin Kinclong
Danau Buatan Masih Biasa-biasa Saja
Meliuk-liuk Menuju Jembatan Pangean di Kuansing
Bakar Tongkang di Rohil
Stadion Utama Riau
Taman Marga Satwa Kasang Kulim  


Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Di daerah saya (Jawa Tengah) juga masih ada tradisi gotong royong seperti itu.

    BalasHapus

TERIMA KASIH KOMENTARNYA, SEMOGA BERMANFAAT

Keliling Riau Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger